Minggu, 24 Agustus 2008

Bencana Lingkungan Di Balik Gemerlap Batik

Batik kini ngetren, dipakai anak muda dan orangtua, tak lagi dianggap kuno. Salah satu kota penghasil batik adalah Pekalongan di Jawa Tengah. Tapi pencemaran akibat limbah batik menjadikan Pekalongan kota paling tercemar di Jawa Tengah. Air sumur tak lagi bisa dipakai. Separah itukah limbah batik di Pekalongan?

Sawah Tarmini terletak di dekat Desa Pabelan, salah satu sentra pengrajin batik di Pekalongan, Jawa Tengah. Sawah ini sekarang sering gagal panen. Penyebabnya adalah air sungai yang tak lagi jernih, tapi berwarna dan berbuih; tercemar limbah pewarna batik.

batikpekalongan.280.jpgAir tercemar
Tarmini: "Nggih limbah bathik saking ngriko... Airnya dari sungai yang dibuat buang limbah batik. Kampung-kampung deket sungai Kampung yang bikin batik. Lewatnya selokan terus masuk sungai terus ke sawah.Ini dah lama sejak ada batik kecil-kecil"

Di belakang setiap rumah terdapat selokan selebar 1,5 meter. Airnya pekat, berwarna merah kehitaman. Isinya limbah batik, sampah rumah tangga sampai kotoran manusia. Menurut Rumini, pengrajin batik Pabelan, air inilah yang digunakan untuk mencuci kain batik sebelum dibilas dengan air sumur.

Rumini "Proses batik itu harus di kali. Kalau tidak di kali, tidak bisa. Kalau di sumur semua, tempatnya nggak ada. Nanti dibilas di bak. Di sini prosesnya begini. Pokoknya dikemasnya bagus. Semua bikinnya juga begini. Nyuci sekali itu biar praktis, ngejar waktu."

Setelah diwarnai, kain batik dicuci. Air sisa cucian dibuang lewat selokan khusus, ke sungai. Memang tak semua pengrajin membuang limbah ke sungai, tapi itulah ulah sebagian besar. Jangan lupa, membatik adalah tradisi turun temurun sebagian besar industri batik skala rumahan. Mereka yakin limbah batik tak berbahaya.

Pelanggaran kolektif
Menurut Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup Kota Pekalongan, terdapat 12 ribu industri kecil dan 23 industri menengah besar yang membuang limbah ke sungai. Masrur, Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Pekalongan, mengatakan, salah satu sumber limbah adalah industri batik rumahan.

Masrur: "Jadi ini kalau satu dua banyak yang taat. Sedikit mungkin gampang diatasi. Yang jadi masalah ini kan pelanggaran kolektif. Pelanggaran berjamaah.apa suruh nutup semua." "Tidak ada complain. karena dia buruh batik di tempat majikannya tetangganya sendiri. Itu bisa langsung lapor saja. Masak mo melaporkan majikannya sendiri. Suruh menutup usahanya..la terus mau kerja apa.melaporkan dia..ya memang sedikit banyak tercemari. Masak mo melaporkan tetangganya sendiri. Memang dilema"

Sialnya, ada sekitar seribuan industri batik rumahan yang membuang limbah ke sungai. Meski pun limbah itu sangat berbahaya, tak banyak yang bisa dilakukan Pemerintah Kota Pekalongan.

Bahan pewarna kimia
Pencemaran limbah batik berasal dari penggunaan zat kimia sebagai pewarna. Kepala Badan Pengelolaan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa Tengah Djoko Sutrisno mengatakan, ini dimulai sejak batik mengalami masa kejayaan pada 1970an. Order meningkat, penggunaan zat pewarna kimiawi otomatis melimpah.

Djoko Sutrisno "Sebelum ini langsung membuang limbahnya di alur-alur sungai disitu sendiri. Memang ini industri kecil, dulu pada saat nenek moyang mereka memulai usahanya yang pertama itu pewarna batik belum banyak menggunakan bahan-bahan kimia. Realitanya di kanan kiri sungai, sumur penduduk sudah berubah warna. Ada yang tidak bisa digunakan lagi"

Jarak pabrik batik ke sungai hanya 300 meter. Meski limbah sudah teramat jelas, tak ada warga memprotes. Wahnuri, warga Desa Sepacar, Kecamatan Tirtokalongan, berdiri di tepi Sungai Pencongan. Ia menunjukkan sumber pencemar yang membuat air sungai berwarna merah kehitaman.

Wanuri: "Ini merah itu. Air batik dari pabrik ngalirnya sebelah sana. Ada pintu itu. Mau lihat sana? Dah ijin sama pemerintah. Ada uangnya.TST (tahu sama tahu,red.) gitu. Mau liat sana? Dulunya bersih bisa disuap kan ga papa. Banyak warga yang kerja di pabrik"

Air asin di sumur
Fajar dan istrinya tinggal di bantaran Sungai Banger, yang juga tercemar limbah batik. Air sumur Fajar sama sekali tak bisa dipakai.

Fajar: "Sumur saya itu rasanya asin, pahit, getir, dan warnanya itu kuning. Di atas nglirap minyak tanah. Buat nyuci misalnya, satu timba air, soklin (sabun pencuci pakaian,red.) satu bungkus kecil nggak berbusa. Kalau dipaké kurang enak. Setengah gatal-gatal gitu, tapi kepekso. Sampe alat-alat rumah tangga gelas, piring warnanya kuning semua. Sampe kuku-kuku kuning, seperti orang biasa ke sawah. Ikan-ikan mati, ke sawah sudah ga bisa. 10 tahun sumur saya kena limbah. Sungai itu warnanya hitam dan baunya menyengat sekali bener menyesakkan. Susah. Rusak parah"

Kebanyakan limbah batik itu mengucur langsung ke sungai yang mengalir di Pekalongan. Ini berbahaya. Limbah bisa meresap masuk sumur warga yang jaraknya hanya sekitar lima meter dari sungai. Danali, warga Jenggot, misalnya, tak bisa lagi menggunakan air sungai.

Danali: "Limbah-limbah masuknya ke kali semua. Dari Jenggot, Simbang Wetan, Krajenan masuknya ke kali. Ada UPL tapi jalannya paling masuknya jam 8-9. Yang lainnya masuk kali. Jadi cemar kalinya. Pokoknya sini tu untuk pembuangan semua. Limbah-limbah masuknya ke kali semua.Masuk ke kali ke sumur. Dah lama tahun 89 sampe sekarang"

Penyebab kanker
Padahal di daerah Jenggot ada satu Unit Pengelolaan Limbah batik organik. Jumlahnya memang tak sepadan dengan buangan limbah yang mencapai 900 meter kubik limbah cair sehari dari 23 pengrajin resmi. Bambang, operator Unit Pengelolaan Limbah di Jenggot mengatakan, unitnya berfungsi dengan baik. Hanya kapasitasnya yang kurang, hanya 400 ribu meter kubik. Limbah yang ditampung hanya sepertiga dari keseluruhan produksi limbah tiap hari.

Bambang: "Ada yang masih terbuang sekitar 300 lebih. Makanya kalau ada yang bilang kurang berfungsi itu ga benar.. cuman kurang muat. Daya tampungnya kurang."

Junaedi, ilmuwan teknik lingkungan Universitas Diponegoro Semarang, mengingatkan, pewarna kimiawi sama sekali tak bisa terurai dan bisa menyebabkan kanker.

Junaedi: "Kalau lagi hijau itu hijaunya lebih hijau dari baju kita. Merah tapi air limbahnya lebih merah dari yang mbak pake. Mengerikan. Warna itu bisa mengalami bioakumulasi dalam tubuh kita. Senyawanya karesnogenik bisa timbul tumor, tubuh kita efeknya tahunan jadi susah"

Tapi Pemerintah Kota Pekalongan kewalahan kalau harus mengingatkan satu per satu industri batik rumahan. Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Pekalongan, Masrur.

Masrur: "Saya tidak mungkin jaga 24 jam di sana ya memang pegusaha kan maunya efisiensi, di antaranya karena pembuangan yang tanpa diketahui. Ini jelas memungkinkan, buang tengah malam, masak saya suruh jadi herder juga. Kan ga mungkinlah, pembuangan seperti itu kan mungkin juga yang namanya pengusaha kan cari celah"

Pewarna alami
Sudah ditempuh sejumlah upaya untuk menangkal pencemaran limbah batik. Yang paling mudah adalah beralih menggunakan pewarna alami. Dunung Alisyahbana, pemerhati batik asal Pekalongan berani jamin, bahannya murah dan mudah didapat.

Dunung Alisyahbana: "Dari Tingi, Tegeran, Jambal, Secang dll. Beberapa daun dan akar mengkudu, beberapa tempat tumbuh liar di pinggir jalan"

Cara lain adalah pembersihan lahan yang tercemar, kata Kepala Badan Pengelolaan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa Tengah Djoko Sutrisno.

Djoko Sutrisno: "Kita bisa memafaatkan mikroorganisme maupun dengan sejumlah tanaman yang kita tanam pada lahan yang sudah tercemar itu. Tanaman-tanaman yang kita pilih yang rakus akan unsur logam pakai rami, nilam yang menyerap unsur logam. Bisa dengan kubis"

Tentu saja masih bisa menyeret industri batik yang bandel dan tak mau mematuhi aturan lingkungan ke pengadilan. Seperti yang dilakukan Fajar dan 87 keluarga lain yang tinggal di sepanjang Sungai Banger. Pada 1988, mereka menuntut tiga perusahan tekstil yang terbukti nyata mencemari sungai.

Fajar: "Saat pelebaran, sungai itu untuk pembuangan sudetan di Pekalongan. Tapi ternyata yang mengalir limbah sungai. Ini kan disedot untuk mengaliri sawah ke utara. Rusak total sekitar 20 hektar. Mati total. Itu berarti limbah kan sudah parah. Masyarakat terus mengajukan gugatan minta diperbaiki. Limbah dibikinkan ipal dari pemerintah maupun pabrik. Lha timbul demo-demo itu tapi tetep saja dari pihak aparat polisi dan tentara selalu menghalang-halangi"

Hasilnya tak sia-sia. Pada 2003 Pengadilan Negeri Semarang sampai tingkat kasasi menyatakan perusahaan tekstil bersalah. Ketiga perusahaan itu dinyatakan terbukti membuang limbah ke sungai dan mengakibatkan kerugian: ternak mati, sawah puso dan hajat hidup warga sekitar Sungai Banger terganggu. Warga mendapat ganti rugi, meski tak layak.

Pekalongan sebagai kota batik harus terus dipelihara demi menjaga kelestarian batik. Tapi jangan sampai ini mengorbankan sungai dan lingkungan.


(Sumber: KBR68H, 21-08-2008, www.ranesi.nl)



Tidak ada komentar: